Cerita Tentang Ibu - Dwi murniati

18 Desember 2015

Cerita Tentang Ibu

“Seandainya aku tidak pernah mengenal TUHAN, aku pasti akan menjadikan Ibuku sebagai Tuhanku”
Ibu…………………………..
Indahnya bunga-bunga
Tidak bisa menggantikan indahnya senyummu
Hangatnya sinar matahari pagi
Tidak bisa menggantikan hangatnya pelukanmu
Lembutnya sutera
Tidak bisa menggantikan lembutnya belaianmu
Terangnya sinar matahari
Tidak bisa menggantikan terangnya sinar matamu
Manisnya gula
Tidak bisa menggantikan manisnya ucapanmu
Ibu……………………………
Tidak ada hal yang bisa membalas jasa-jasamu
Biar Allah saja yang balas
Karena
Balasan Allah akan jauh lebih indah daripada balasan anakmu ibu
Ah ibu berapa banyak kata lagi untuk mengungkapkan segala kebaikanmu. Tidak akan pernah habis ibu.

Menulis tentangmu, selalu saja airmata ini tak bisa terbendung. Selalu saja ada penyesalan yang sangat dalam di hatiku.
Dia hanya wanita biasa, wanita yang tidak pernah neko-neko. Wanita yang selalu menurut pada perkataan orang tuanya, wanita begitu penyayang pada adik-adiknya. Wanita yang sangat memuliakan ibunya, wanita yang doa-doanya tak pernah putus, wanita yang selalu tersenyum meski penderitaan tak pernah putus darinya. Ah tidak akan cukup  kata-kata untuk menggambarkanmu, ibu.
Lagi-lagi cerita ini pasti akan menguras air mataku.
Dibesarkan dalam keluarga yang bahkan terbilang sangat miskin, harus berbagi makanan dengan 6 orang saudaranya. Sebagai anak pertama dengan 6 orang adik, ibu mempunyai tanggung jawab yang besar. Beliau selalu mengushakan adik-adiknya makan meski dia sendiri  belum makan, bahkan rela berhutang pada tetangga demi perut adik-adiknya. Tidak hanya itu beliau pun tidak mau melanjutkan dan  memilih bekerja untuk membiayai sekolah adik-adiknya.
Saat usia 17 tahun ibu pun menikah, alih-alih mendapat kebahagian, justru kesedihan yang ia dapat. Harus tinggal dengan ibu mertua yang selalu saja merendahkannya dan mencampuri urusan rumah tangganya, yang meminta uang padanya meski itu hasil jerih payahnya pergi ke sawah. Meski begitu saat ibu mertuanya sakit, beliau pun yang merawatnya. Sungguh tidak ada rasa benci pada mertuanya.
Oh, ibu terbuat dari apa hatimu. Jika saja itu aku, sudah pasti aku tinggalakn rumah mertuaku itu.
Suami pun bukanlah suami yang bisa membuatmu bahagia. Bapak yang terus membela ibu dan adik-adiknya, hingga perlakuan bapak yang kadang kasar. Sering aku melihatmu menangis sendirian. Aku masih kecil, tapi aku tahu betapa menderitanya dirimu. Belum lagi banyaknya penyakit yang engkau derita, dari sakit sesak napas, telinga kemasukan kecoa dan sakit gigi.
Sungguh Allah memberikan ujian dan cobaan yang berat pada ibu.
Tapi semua itu belum cukup, Allah masih memberikan ujian untuk ibu.
Ibu harus rela kehilangan satu matanya, aku yang melihat bagaimana ibu menahan sakit di matanya berhari-hari demi berharap matanya masih bisa diselamatkan sampai kemudian harus kehilangan satu matanya. Seandainya aku boleh nego sama Allah, aku ingin bertukar sesuatau sama Allah agar mata ibuku tidak diambil, aku minta sama Allah agar mataku saja yang diambil, jika itu pun masih kurang, ambil saja nyawaku sebagai gantinya. Ibuku yang baik, ibuku yang selalu mengalah untuk siapapun, ibuku yang belum pernah aku lihat bahagia. Semoga cobaan-cobaan ini adalah tangga untuk ke surga, ikhlaskan hati ibu, menerima segala takdirMu, ikhlaskan Ibu  atas suratanMu. ALLAH sedang mempersiapkan surga terindah untukmu, Ibu. Semoga kita bertemu di surga itu dan aku bisa melihat senyummu yang tulus. Senyum yang sangat jarang terlihat.
Ya Allah, tolong buat ibuku bahagia. Karena aku hanya anak yang belum mampu membuatnya bahagia. Seandainya aku tidak pernah mengenalMu, aku pasti akan menjadikan Ibuku sebagai Tuhanku. Aku akan berusaha mematuhi perintahnya, dan menjauhi larangannya.
Aku inga pernah mendengarkan hotbah jumat di masjid dekat rumah. Saat itu hotib sedang menceritakan seorang sahabat yang bertanya kepada Umar bin Hatab.
Wahai Umar, aku telah mengendong ibuku untuk berhaji dari madinah ke mekah, melakukan tawaf dan sai sambil mengendong beliau, apakah itu cukup untuk membalas jasa ibuku?
Lalu umar menjawab
Wahai sahabatku, seandainya kamu mengendong ibumu untuk haji dari madinah ke mekah dan tawaf serta sai sampai 100 kali pun, itu belum cukup untuk membalas kebaikan ibumu”
Subhanallah betapa Allah menempatkan seorang ibu pada posisi yang sangat tinggi.
Ya Allah bahagiakan Ibuku dengan caraMu ya Allah. Jika ibuku berdosa ampunilah dosanya,

Ibuku yang berkorban  habis-habisan untuk membuat anaknya sukses, untuk membuat anak-anaknya bahagia dan anak belum tentu seorang anak bisa membahagiakan ibunya habis-habisan.  Aku benar-benar menyadari betapa berat tugas seorang ibu, tapi toh ibu tetap melakukannya dengan baik, tanpa keluhan. Seandainya waktu bisa dibalikkan, aku akan membuat ibuku lebih bahagia. Karena engkau juga yang telah membuatku bahagia dan bangga memiliki ibu sepertimu.


1 komentar:

  1. Terima kasih telah memeriahkan GA Sejuta Kisah Ibu di rosimeilani.com

    BalasHapus

@templatesyard